Informasi Pengadilan
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM ISLAM DARI PERSPEKTIF KEADILAN GENDER
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM ISLAM DARI PERSPEKTIF KEADILAN GENDER
Oleh:
Happy Pian, S.H., M.H.
Mahasiswa Pascasarjana S3 UIN SGD Bandung,
Panitera Pengganti Pengadilan Agama Mukomuko
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Abstract: Gender polemics are certainly very diverse, problems related to gender justice are of course also colored with domestic problems to be colored with public problems, where one of the polemics that never ends is related to gender justice in the life of household problems, he explained in exercising rights and the obligations of husband and wife if it is related to the conception of gender justice. The various problems that arise are of course born from the principles of inequality, injustice, and also the imbalance between the roles and obligations of husband and wife. From the various analysis results found by the author in this study, indirectly marriage law in Indonesia in the contemporary era as it is today, clearly seems to be gender biased, because there are still various articles that contain discriminatory and subordinate elements against women. This means that there is a need for a reformulation of the existing provisions and policies regarding the rights and obligations of husband and wife in family law in order to establish gender justice.
Key Words: Rights and Responsibilities, Husband and Wife, Gender Justice.
Abstrak: Polemik gender tentu sangatlah beragam, problematika terkait keadilan gender tentunya juga diwarnai dengan masalah domestik hingga diwarnai dengan masalah publik, dimana salah satu yang menjadi polemik yang takj juga kunjung usai adalah terkait keadilan gender dalam kehidupan masalah rumah tangga, jelasnya dalam menjalankan hak serta kewajiban suami istri jika dihubungkan dengan konsepsi keadilan gender. Berbagai problematika yang muncul tentunya lahir dari asas-asas ketidak kesetaraan, ketidakadilan, dan juga ketimpangan antara peran serta kewajiban suami dan istri. Dari berbagai hasil analisis yang didapati oleh Penulis dalam kajian ini, maka secara tidak langsung hukum perkawinan di Indonesia di era kontemporer sebagaimana seperti sekarang ini, jelasnya terkesan bias gender, karena masih didapati berbagai Pasal yang mengandung unsur diskriminatif serta subordinatif terhadap kaum wanita. Ini artinya diperlukan sebuah reformulasi ulang terkait ketentuan dan juga kebijakan yang ada dalam perkara hak serta kewajiban suami istri dalam hukum keluarga demi terbentuknya sebuah keadilan gender.
Kata Kunci: Hak Kewajiban, Suami Istri, Keadilan Gender.
PENDAHULUAN
Gender menjadi sebuah topik yang masih hangat untuk diperbincangkan karena berdasarkan fakta dan juga fenomena yang ada, gender belakangan ini selalu menjadi sorotan karena banyaknya perubahan serta perkembangan yang terjadi dalam ranah wilayah hukum, politik, serta wilayah kekeluargaan (Halim, 2018). Yang terjadi hari ini, ketika meninjau perspektif gender dalam ranah wilayah hukum keluarga maka pasti akan lahir sebuah paradigma yang mengacu pada konsep ketidakadilan, ketidak sejajaran, ketidak selarasan, dan juga tindak diskriminatif yang sering sekali terjadi pada pihak wanita. Hal ini tentunya dilandasi karena munculnya berbagai fakta yang mendorong pada konsepsi yang menunjukkan bahwa konsepsi gender kaitannya dengan peran serta kewajiban antara suami dan istri dalam hal menjalin sebuah pola relasi dalam berkehidupan rumah tangga mesti dikaji lebih mendalam dan dianalisis lebih lanjut, mengingat banyaknya kesenjangan yang terjadi dalam berkehidupan rumah tangga.
Pada dasarnya terdapat beberapa indikator yang menjadi poin-poin pokok dalam hal meninjau fenomena ketidak adilan gender, hal ini tentunya sangat merugikan pihak perempuan atau pun pihak laki-laki dalam hal menjalankan rumah tangga yang dijalaninya.
Adapun indikator-indikator tersebut mencakup aspek subordinasi atau menganggap rendah dan menganggap hina kaum wanita, kemudian aspek selanjutnya yaitu adalah indikator diskriminasi dimana dalam hal tindakan ini, biasanya seseorang selalu membeda-bedakan perilaku serta tindakan terhadap wanita dengan laki-laki, contoh sederhana dari indikator diskriminatif ini adalah sebagaimana pemberian upah yang diberikan ataupun pemberian status serta jabatan yang diberikan ayang jelas dibedakan antara pihak laki-laki dan juga wanita, kemudian indikator selanjutnya adalah indikator stereotip atau memberikan cap serta label negatif terhadap perempuan, dimana biasanya label tersebut disandingkan dengan sifat-sifat perempuan yang bersifat cengeng, lemah, emosional, kemudian manja dan lain sebagainya, kemudian selanjutnya indikator yang menjadi aspek ketidak adilan gender adalah indikator marjinalisasi atau peminggiran pihak perempuan, dimana dalam indikator ini perempuan sejatinya dianggap tak pantas dalam hal menjabat atau menduduki sebuah status dan juga jabatan yang tinggi baik dalam dunia perpolitikan, ekonomi, dan dunia kerja, kemudian indicator terakhir yang menjadi aspek ketidak adilan gender dalam hal ini adalah adanya indikator double/multiple burdens atau dalam bahasa sederhana indikator ini merupakan indikator yang mengacu pada beban ganda yang di tumpahkan seutuhnya kepada seorang perempuan, dimana dalam hal ini perempuan dituntut untuk melakukan peran ganda dalam hal melayani suami, anak, mencari nafkah dan bekerja (Nurmila, 2016).
Dari berbagai tindak diskriminatif, marjinalisasi, kesenjangan, serta berbagai bentuk yang mengacu pada ketidakadilan gender, maka secara tidak langsung berbagai indikator tersebut melahirkan sebuah dikotomi antara kaum laki-laki dan juga kaum wanita dimana kedua kaum ini tentunya menganggap bahwa antara suami dan istri pasti terdapat perbedaan dalam beberapa hal tertentu yang akibatnya memunculkan sebuah pola relasi patriarki dimana dalam hal ini pihak laki-laki lebih diuntungkan daripada pihak wanita.
Secara tidak langsung pihak wanita atau peran seorang istri dalam hal ini sudah termarjinalisasi karena bagaimana pun pihak perempuan atau pun istri dalam hal ini sangat dirugikan secara materiil dan juga immaterial, oleh karenanya hal ini tentu saja memberikan sebuah peluang dan juga kesempatan yang sangat besar bagi peneliti untuk menindaklanjuti serta menganalisis lebih dalam terkait hak dan kewajiban suami istri ditinjau berdasarkan perspektif keadilan gender dengan meninjau lebih lanjut ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam.
Adapun fokus kajian dalam penelitian ini adalah sebuah pandangan kritis terkait efektivitas penerapan pedoman di Indonesia yang bersumber pada hukum keluarga ketika menimbang apakah terdapat sebuah relevansi yang akurat mengingat begitu cepatnya paradigma sosial tentang ketidak adilan gender yang berkembang secara pesat dalam perihal hak serta kewajiban suami istri dalam Islam jika ditinjau dalam perspektif keadilan gender?
Dari berbagai fenomena atau fakta yang ada maka sejatinya konsep perkawinan di era kontemporer sebagaimana yang terjadi di Indonesia pada saat ini cenderung menjorok pada sebuah fenomena bias gender, dimana bila kita kaji lebih dalam dalam hal meninjau serta menimbang ketentuan yang ada dalam Pasal-Pasal perundang-undang Perkawinan serta KHI. Maka sejatinya ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya masih sangat memarjinalisasikan serta mendiskriminasikan kaum wanita.
Maka demi keadilan bagi kaum wanita dan juga bagi laki-laki tentunya diperlukan sebuah dekonstruksi antar kedua kaum tersebut dalam hal membangun sebuah konsep baru yang bersifat egalitarian atau tentunya dapat saling menopang satu sama lain dan juga menampung berbagai kepentingan baik kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh perempuan ataupun oleh laki-laki sebagai makhluk sosial yang juga memiliki hak serta kewenangan dalam hal mendapatkan keadilan.
METODE
Adapun jenis kajian dalam penelitian ini merupakan sebuah kajian kritis normatif dimana dalam melakukan sebuah telaah mendalam Penulis melakukan berbagai konsep analisis dengan teknik pengumpulan data literil atau berdasarkan kepustakaan, oleh karenanya sumber data atau bahan baku primer dalam penelitian ini merupakan bahan bahan referensi primer sebagaimana Undang-Undang Perkawinan dan juga KHI. Adapun Sumber data sekunder yang bersifat primer dalam kajian ini berupa berbagai literatur kajian pustaka sebagaimana sumber-sumber dari buku terverifikasi, jurnal-jurnal terverifikasi, pendapat para ulama, ataupun para ahli yang memiliki kaitan erat pada pembahasan pokok kajian pada penelitian ini. Adapun pola analisa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tolak kajian dengan konsep paradigma gender dan pendekatan sosiologi hukum guna mendukung serta memperkuat ketajaman analisa dalam hal mengkaji hak serta kewajiban suami istri dalam Islam dari perspektif keadilan gender.
PEMBAHASAN
Konsep gender dalam hal wilayah hukum keluarga di Indonesia berdasarkan perspektif dengan asas keadilan sejatinya menuaikan beberapa paradigma yang menjorok pada nuansa ketidakadilan, ketidak setaraan, kesenjangan, dan juga ketidak memihakan satu sama lain, hal ini tentunya mencerminkan sebuah tindak serta perilaku yang sangat mengunggulkan pihak laki-laki dan sangat merendahkan pihak wanita terutama perkara suami dan istri dalam menjalankan kewajibannya dan menerima haknya dalam menjalankan rumah tangga.
Sangat disayangkan, bagaimanapun pada dasarnya hukum kekeluargaan atau hukum perkawinan merupakan sebuah asal serta pondasi utama dalam hal pembentukan sebuah keadilan gender atau sistem gender yang bisa dikatakan sangat signifikan keberadaannya. Dengan kata lain dalam hal memahami serta mendalami peran serta konversi gender dalam sebuah budaya dan tatanan masyarakat, maka pola serta konsep perkawinan lah yang menjadi tombak utama dalam hal penentu serta dasar untuk memulai asas keadilan. Namun, sangat disayangkan sistem gender yang ada sebagaimana adanya di Indonesia malah mendorong kaum wanita termarjinalisasi bahkan didiskriminasi oleh kaum laki-laki, ini dapat membuat para wanita merasa rugi karena bagaimanapun juga seolah-olah para lelaki sudah terlegitimasi untuk berdiri secara independen sedangkan kaum wanita harus bergantung pada pihak laki-laki.
Bahkan dalam ketentuan serta peraturan yang termuat dalam Perundang-Undangan Perkawinan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam bahasan Bab Kewajiban Suami Istri, Di mana terdapat Pasal-Pasal yang dinilai memiliki nilai subordinasi terhadap kaum perempuan yang terlihat jelas dari beberapa pasal berikut:
Selanjutnya mengatur Kompilasi Hukum Islam bab XII yaitu hak yang dimiliki oleh suami dan istri sebagai berikut:
Maka dari berbagai uraian serta bunyi Pasal dan bab di atas, dapat nampak terlihat jelas bahwa Pasal-Pasal tersebut masih membedakan antara status laki-laki dan juga istri meskipun dalam hal ini, Undang-Undang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya sudah mengupayakan untuk menyegarkan atau mensejajarkan antara kaum wanita dan juga laki-laki jika dibandingkan dengan konsep gender yang terdapat dalam kajian-kajian fiqih yang memang sudah jelas memarjinalisasikan kaum wanita, namun pada nyatanya ketentuan-ketentuan dalam UUP serta KHI tersebut masih dinilai belum menempatkan posisi wanita atau sejajar dengan laki-laki karena memang jelas nampak dalam Pasal-Pasal tersebut dibedakan antara pria dan juga wanita dalam hak kewenangan dan kewajibannya. Ini artinya konsepsi hak serta kewajiban yang dimiliki oleh kaum pria dan wanita saat masih memiliki indikasi bias gender.
Dalam perspektif keagamaan, Islam sebagai sarana ataupun media bagi sistem kekeluargaan memberikan sebuah skema pokok dalam hal mengatur serta memberikan berbagai perangkat aturan yang bersifat secara efektif terkait problematika kekeluargaan, khususnya dalam hal memilih pasangan, dan juga menjalankan tata serta aturan yang terdapat dalam sistem kekeluargaan.
Hak serta kewajiban antara suami dan istri tentunya juga sudah diatur sedemikian pula dalam ketentuan yang terdapat serta termuat pada Alquran dan juga as-sunnah serta dalam kitab-kitab fiqih dan kajian-kajian klasik lainnya yang diatur sedemikian jelas dan detail. Namun Sangat disayangkan, dengan adanya berbagai pendapat dalam hal menafsirkan serta menginterpretasikan beberapa ayat dan hadits yang berkenaan dengan hak serta kewajiban suami istri hal tersebut tentunya menuai berbagai polemik yang menunjang pada sebuah fleksibilitas dalam hal menafsirkan serta menginterpretasikan ayat-ayat tersebut sehingga tidak jarang hasil dari berbagai tafsiran-tafsiran tersebut bila disandingkan dengan konsep gender memiliki indikator bias gender bahkan memiliki asas ketidakadilan.
Menyikapi hal tersebut maka mulai banyak bermunculan para tokoh-tokoh ulama serta Kyai yang mengkaji serta menghubungkan konsep serta interpretasi penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut berdasarkan dengan konsepsi perkembangan zaman yang bersifat kontemporer agar tidak didapati sebuah kesenjangan ataupun ketidak selarasan dengan pola serta budaya yang ada pada saat ini.
Menindaklanjuti hasil tafsiran atau interpretasi yang banyak dilakukan oleh para ulama klasik, tentunya hal ini menyudutkan pada sebuah paradigma yang secara tidak langsung telah meniscayakan tentang adanya konsepsi pemikiran ulang. Karena bagaimanapun dalam hal ini sosok wanita dianggap sebagai sosok yang diposisikan secara instrumental dan tentunya bukan diposisikan secara substansial, indikator stereotip juga tentunya sangat mewarnai kaum wanita di mana dalam hal ini biasanya dogma-dogma tersebut diambil dari fiqih atau tafsir tafsir klasik.
Hal ini terlihat dari sebuah ketentuan yang menjelaskan bahwa kaum laki-laki yang berhak untuk memberi nafkah kepada istri yang setidak langsung dalam hal ini laki-laki memiliki kekuasaan terhadap istri karena atau disebabkan pihak laki-laki memiliki sebongkah kekayaan yang dapat menjadi sebuah kekuatan baginya dalam hal mengatur serta mempola istrinya dalam memperlakukan serta memposisikannya di dalam kehidupan rumah tangga.
Adapun tahapan reformulasi dalam hal merubah nilai serta norma yang ada dalam masyarakat dari asalnya masyarakat yang memiliki budaya patriarki menjadi sebuah konsep masyarakat dengan konsep kesetaraan gender maka tentunya diperlukan sebuah skema reformasi serta implementasi hukum gender secara adil, terlebih dalam hal memperlakukan serta memposisikan hak dan kewajiban suami istri berdasarkan perspektif Islam yang dihubungkan dengan konsep keadilan gender.
Formulasi Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perspektif Keagamaan bila Dihubungkan dengan Konsep Hukum Keluarga di Indonesia
Konsep reformulasi baru terkait Undang-Undang Hukum Keluarga sejatinya telah mengisyaratkan akan adanya sebuah pembaharuan hukum Islam di dunia hukum kekeluargaan. reformulasi nilai serta budaya dalam hal hukum kekeluargaan tentunya terus menuai berbagai respon pro dan kontra dari berbagai pihak. Namun, kendati demikian pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang membahas tentang Perkawinan tentunya mesti mendapatkan sebuah perhatian serius dari berbagai pihak, karena pemberlakuan Undang-Undang tersebut tentunya harus disesuaikan dengan perkembangan era serta pengembangan zaman sebagaimana yang ada pada saat ini (Raharjo, 2010).
Munculnya berbagai permasalahan yang lahir terkait polemik perkawinan yang secara jelas belum dapat dijawab oleh Undang-Undang Perkawinan merupakan sebuah bukti yang mendasar bahwa perlu diadakan sebuah reformulasi atau pembaharuan terhadap perundang-undangan tersebut, menimbang konsepsi perancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut sangatlah berbeda dengan konteks serta perkembangan zaman pada saat ini.
Formulasi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pada dasarnya banyak didominasi oleh berbagai pandangan serta sumbangsih dari para ulama klasik, sebagaimana Ibnu Hazm yang memberi sebuah pernyataan bahwa kewajiban dalam hal memberi nafkah merupakan sebuah kewajiban yang harus disanggupi oleh pihak suami, hal ini merepresentasikan bahwa kewajiban dalam memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami secara utuh tanpa memberikan peluang bagi seorang istri untuk membantu dalam hal mencari peluang atau pun nafkah bilamana dalam keadaan sempit. Menyikapi persoalan tersebut tentunya dalam pandangan Islam pun tidak didapati berbagai ketentuan yang menjelaskan bahwa perihal pekerjaan rumah sebagaimana mencuci, mengepel, kemudian membersihkan rumah merupakan kewajiban seorang istri atau pun suami, oleh karenanya berdasarkan pandangan Sayyid Sabiq Ia menjelaskan bahwa seorang suami diharamkan atau tidak diperbolehkan dalam hal menuntut istrinya untuk melakukan berbagai pekerjaan rumah bilamana didapati istrinya tersebut tidak dalam keadaan Ridho. Karena bagaimana pun keberlangsungan akad yang mereka lakukan merupakan sebuah konsepsi penghalalan atas hubungan yang mereka jalin dan bukan merupakan sebuah ketentuan mutlak yang membagi peran dan kewajiban antara suami dan istri (Sabiq, 1990).
Berdasarkan pandangan mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan juga Syafii dijelaskan bahwa konsepsi kewajiban dalam hal membersihkan rumah mencuci, kemudian memasak merupakan sebuah kewajiban atau lingkup kewajiban yang harus dikerjakan serta disediakan oleh suami termasuk dalam hal memberikan nafkah kepada istri. Adapun perihal sosok istri dalam hal keharusan melayani suaminya dalam hal ini hanya menunjukkan konsepsi sifat kesukarelaan yang menunjukkan keluhuran Budi seorang istri bagi suaminya dan bukan merupakan kewajiban dari istri itu sendiri. Konsepsi kepemimpinan dalam berkehidupan rumah tangga sejatinya telah diuraikan dalam sabda rasulullah yang berbunyi (Hanbal, 1990):
Dari berbagai kejelasan serta uraian hadis di atas pada dasarnya uraian tesebut telah menuai berbagai multitafsir dari berbagai kalangan termasuk dari kalangan para fuqoha yang mana tafsiran tersebut sering disalah pahami dengan mengatakan bahwa tugas melayani seorang suami dan juga melakukan berbagai pekerjaan dan tugas-tugas rumah merupakan sebuah kewajiban seorang istri, namun, hal tersebut sejatinya malah berbalik karena bagaimanapun melayani serta membersihkan dan memberi nafkah untuk istri termasuk dalam hal merapikan rumah merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami.
Adapun landasan kuat yang dijadikan oleh kalangan patriarki dalam hal memposisikan kekuasaannya terhadap istri adalah mengambil sebuah landasan dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani di mana dalam hal ini Rasulullah bersabda “bilamana didapati seorang perempuan dan dia telah mengerjakan salat fardhu kemudian ia telah mengerjakan puasa di bulan Ramadan serta menjaga kehormatannya dan taat pada suaminya maka masuklah ia ke surga dari pintu mana saja yang ia sukai". Maka dari kejelasan hadis tersebut tentunya kaum laki-laki atau pun para suami menjadikan sebuah dalih bagi para istri dalam hal memerintahkan istrinya, yang secara sederhana bilamana seorang suami memerintahkan istrinya dalam hal melayani, mencuci, serta membersihkan rumah dan sebagainya maka harus dipatuhi, karena bagaimana pun salah satu pintu surga berada di bawah kakinya.
Namun berkenaan dengan uraian di atas, sebelumnya kita juga harus menindaklanjuti telaah terhadap Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berkenaan dengan Undang-Undang Perkawinan yang akrab disebut juga dengan Fiqih Indonesia, istilah ini juga lebih populer dikenal dengan fikih mazhab Orde Baru ataupun fikih mazhab sosialisme dan lain sebagainya. Namun didapati sebuah kejelasan serta persamaan dalam ketentuan serta uraian Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jika dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam uraian-uraian fiqih klasik, di mana dalam hal ini berbagai kesamaan tersebut didominasi terhadap sebuah konsepsi yang berkenaan dengan hak serta kewajiban suami istri yang tentunya masih mendikotomikan ruang antara ruang publik dan juga ruang privat, dimana tentunya hal ini dirasa kurang relevan dengan perkembangan yang ada saat ini.
Perlunya sebuah reformulasi terhadap Undang-Undang Perkawinan atau terhadap fiqih Indonesia perlu dilaksanakan secara sigap dan tanggap dan tentunya harus disesuaikan dengan aspek keadilan gender, karena bagaimanapun di dalam beberapa Pasal yang termuat di dalamnya, sebagaimana ketentuan atau uraian yang terdapat pada Pasal 31 Ayat 3 yang mengatur secara jelas bahwa suami merupakan atau berperan sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dimana hal ini tentunya mendorong adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga terhadap istri, karena telah merasa memiliki kekuasaan atau kepemimpinan dan status yang jauh lebih tinggi dibandingkan sosok istri, maka jelas dalam hal ini ini aspek keadilan gender tidak diterapkan sama sekali.
Oleh karenanya menanggapi fenomena-fenomena tersebut hendaknya para formatur pembuat kebijakan untuk lebih mementingkan serta mereformasi kebijakan-kebijakan yang ada agar tercipta sebuah konsep perundang-undangan yang sejajar dan relevan dengan asas keadilan gender dalam hal menangani problematika yang berkenaan dengan undang-undang perkawinan.
Konsep perkawinan jika didefinisikan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 1 Ayat 1 maka memiliki sebuah makna yang menunjukkan adanya sebuah ikatan lahir batin yang dimiliki antara laki-laki dan wanita yang disebut sebagai suami dan istri dengan sebuah capaian atau tujuan tertentu yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dalam ketentuan Pasal ini juga disebutkan bahwa terbentuknya sebuah perkawinan merupakan bagian dari ibadah, namun kendati demikian Marzuki Wahid sebagai salah satu praktisi dan juga perancang counter legal draft KHI lebih cenderung menggunakan perspektif pandangan Imam Abu Hanifah dimana dalam pandangan tersebut jelaskan bahwa konsep perkawinan bukan termasuk ke dalam klasifikasi ibadah namun konsep perkawinan sejatinya termasuk ke dalam klasifikasi bagian muamalah dengan sederhana maka konsep perkawinan merupakan bagian dari kontrak sosial kemanusiaan yang dilakukan antara laki-laki dan juga wanita sebagai sepasang suami istri.
Dalam hal ini berdasarkan pandangan Kompilasi Hukum Islam tentunya pernikahan harus dilaksanakan dengan asas keadilan, kerelaan, kesetaraan, kesejahteraan, demokratis serta pluralisme. Maka jelas dari berbagai asas yang menjadi penunjang dasar konsep perkawinan didapati dua Asas terpenting yaitu asas keadilan dan juga asas kesetaraan dimana berdasarkan pandangan Siti Musdah seharusnya persoalan terkait perbedaan antara wanita dan laki-laki tidak patut untuk di persoalan atau persoalan gender seharusnya tidak harus diperdebatkan.
Maka selanjutnya menanggapi fenomena-fenomena tersebut maka berdasarkan sudut pandang gender seharusnya pola relasi antara perempuan dan juga laki-laki dilakukan dalam konteks keadilan dan juga kesetaraan yang berlaku secara natural atau secara alamiah. Karena bagaimana pun ketidak adilan dalam konsep gender sangat bertentangan dengan ketentuan serta ajaran pokok dalam agama Islam, di samping bertolak belakang dari ketentuan ajaran Islam sendiri, tentunya ketidak adilan dalam pemenuhan hak kewajiban serta peran suami dan istri merupakan salah satu bagian dari tindak marjinalisasi serta dehumanisasi perempuan secara terang-terangan.
Karena bagaimana pun dalam agama Islam telah dijelaskan sedemikian jelasnya bahwa kedudukan antara laki-laki dan wanita derajatnya memiliki tingkatan derajat yang sama dimata Allah Yang membedakan jelas-jelas adalah ketakwaan dari kedua jenis makhluk ini dan bukan dibedakan dari jenis kelaminnya atau dari jenis gendernya. Maka dapat disimpulkan dalam hal ini Al-quran dan juga al-hadis tidak menitik beratkan atau tidak menekankan sama sekali terkait konsep superioritas ataupun inferioritas yang menunjuk ketidaksamaan pada jenis kelamamin lelaki dan waanita.
Maka berdasarkan logika dari ketentuan yang didapati dalam al-quran dan juga Al-Hadits dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan jika dihubungkan dengan ketentuan yang ada dalam agama Islam terkait konsepsi keadilan gender dalam hal hak kewajiban serta peran suami dan istri dalam menjalankan hubungan rumah tangga tidak tidak relevan dengan ajaran atau ketentuan yang terdapat dalam agama Islam sendiri, karena bagaimana pun penjelasan terkait perihal perkawinan dalam Undang-Undang tersebut tidak memberikan sebuah aspek kesetaraan terhadap suami dan istri dalam hal menjalankan peran dan kewajibannya masing-masing artinya dalam hal ini masih didapati sebuah aspek yang memarjinalisasikan pihak wanita sebagai seorang istri dan juga suami sebagai seorang pemimpin rumah tangga.
Maka dari berbagai orang yang di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa idea atau gagasan-gagasan moral yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan sebagaimana yang didominasi dari berbagai konsep prinsip kesetaraan dan juga keadilan yang menjunjung tinggi akan Fiqih Indonesia atau pendapat para ulama classic tentunya perlu dilakukan sebuah rekonstruksi atau reformulasi pembentukan Undang-Undang baru agar tidak menimbulkan sebuah konsepsi bias gender.
Selanjutnya sebagai manifestasi dari adanya reformulasi perkawinan dengan konsep sistematika kesetaraan dan juga keadilan, maka sejatinya seorang lelaki dan wanita semestinya diposisikan dalam menyamakan kedudukan dalam menjalankan rumah tangga tanpa memandang sebelah mata atau membeda-bedakan satu sama lain. Maka sebenarnya memang sudah wajar bila mana nilai hukum yang terdapat dalam Pasal 31 Ayat 1 yang seharusnyabsudah seharusnya dihapus dimana menempatkan seorang lelaki menjadi kepalamrumah tangga dan wanita sebagai seorang ibu rumah tangga.
yang memposisikan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga sudah semestinya dihapus, karena bagaimana pun hal tersebut menjadi sebuah pemicu adanya tindak kekerasan dan juga ketidakadilan gender dalam hal menjalankan bahtera rumah tangga.
Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Islam Menurut Perspektif Gender
Menurut ajaran syariat Islam, di dalam akad pernikahan tidaklah sama dengan akad kepemilikan. Di dalam akad pernikahan terdapat kewajiban yang mengikat pada keduanya, kewajiban suami dalam rumah tangga lebih berat ketimbang kewajiban istri. Menurut Firman Allah SWT ““akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34). Pada ayat tersebut, bukan hanya laki-laki yang dapat memimpin dalam rumah tangga, wanita juga dapat menjadikan dirinya sebagai pemimpin keluarga jika dalam rumah tangga tersebut terjadi masalah seperti suami yang tidak dapat memberi nafkah karena dalam keadaan sakit.
Hak dan kewajiban sebagai suami dan istri pada dasarnya sama. Adapun kewajiban dapat dikerjakan oleh siapapun di antara mereka, sedangkan hak ialah apapun yang dapat diterima oleh siapapun dari mereka.
Dapat disimpulkan bahwa kewajiban merupakan suatu perlakuan yang wajib dilakukan oleh siapapun yang ditetapkan sesuai dengan ketentuannya.
Terdapat dua hak menurut Abdul Wahad Khallaf, yaitu hak Allah dan hak Adam. Hak yang istri dapat atas suaminya merupakan hal yang berhubungan dengan sesama manusia, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai hak Adam. Adapun hak istri yang dapat dijadikan sebagai kewajiban suami ialah seperti di bawah ini:
- Nafkah, Pakain dan Tempat Tinggal.
Kata nafkah yang berasal dari Bahasa Arab yaitu an-nafaqah yang berarti pengeluaran. Nafkah berarti suatu pengeluaran yang diberikan kepada seseorang yang bersangkutan dengan dirinya sebagai tanda tanggung jawab dalam menafkahi.
Sependapat dengan Fuqaha bahwasanya suami yang berada dalam satu tempat wajib menafkahi sang istri, adapun bagi suami yang bekerja di tempat yang jauh, maka jumhur fuqaha bahwa sang istri tetap wajib dapat nafkah dari sang suami. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak mewajibkannya terkecuali atas putusan penguasa. Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 233, terlah dijelaskan di dalamnya tentang kewajiban dalam menafkahi:
وَ الْوَالِدٰتُ یُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَیْنِ كَامِلَیْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ یُّتِمَّ الرَّضَاعَةَؕ-وَ عَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِؕ-لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Maksud dari kata الْمَوْلُوْدِ لَهٗ pada ayat di atas ialah ayah dari anak tersebut wajib menafkahi serta memberi pakaian kepada ibu dari anaknya yang dilakukan dengan cara yang ma’ruf. Adapaun بِالْمَعْرُوْفِ adalah sesuatu yang dilakukan dengan tidak terlalu berlebihan, serta tidak dalam kepatutan yang disesuaikan pada kemampuan finansial ayahnya.
Selain itu, suami juga wajib memberikan tempat yang layak sebagai kewajiban seorang suami terhadap sang istri, seperti yang tertera di dalam firman Allah SWT:
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَیْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ…
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
- Suami istri saling menggauli dengan cara baik
Suami istri saling memperlakukan rumahtangganya dengan sikap yang adil dan baik, dapat dilihat dalam ayat Al-quran surat an-Nisa ayang 19 yang berbunyi:
یٰۤاَیُّهَا الَّذِیْنَ اٰمَنُوْا لَا یَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرْهًاؕ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَاۤ اٰتَیْتُمُوْهُنَّ اِلَّاۤ اَنْ یَّاْتِیْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَیِّنَةٍۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ-فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰۤى اَنْ تَكْرَهُوْا شَیْــٴًـا وَّیَجْعَلَ اللّٰهُ فِیْهِ خَیْرًا كَثِیْرًا
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Maksud dari kata وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ adalah menjurus kepada mereka para suami agar senantiasa memperlakukan istrinya dengan baik dalam perbuatan dan penampilannya. Seperti mana sang suami yang menyukai istrinya dari hal tersebut, maka suami pula agar memperlakukan istrinya seperti itu. Seperti dalam hadits dari riwayat Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW. bersabda “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”. Rasulullah SAW memiliki akhlak yang memperlakukan keluarganya dengan baik, pengertian, berperilaku yang membuat keluarganya senang, kelapangan dalam memberi nafkah dan bersenda gurau dengan istri-istrinya.
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan, وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ , Kata الْمَعْرُوْف memiliki pengertian yang lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah. Kata tersebut memiliki arti perlakuan kita yang baik terhadap siapapun yang hanya berdasarkan rasa cinta (al-hubb) atau dapat diartikan karena memiliki rasa senang dan bahagia akan kehadiran orang tersebut. Adapun kata الْمَعْرُوْف maknanya ialah perbuatan baik kita terhadap mereka yang kita belum menyukainya.[14] artinya jika di kemudian hari ketika kita tidak tertarik lagi kepada istri kita dalam fisik maupun yang lainnya sudah tidak menyenangkan lagi bagi kita maka janganlah menyakiti hatinya, tetaplah berbuat makruf kepadanya dan tetaplah berbincang-bincang dengannya. Karena dibalik sisi yang buruk pasti terdapat sisi baik yang lebih banyak dari sisi buruk. Memikirkan hal baik dapat menutupi keburukan yang mengganggu pikiran.
- Saling menjaga diri dari dosa.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang wajib bagi pasangan suami dan istri serta anggota dalam rumah tangganya. Kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk hanya dengan memiliki ilmu agama. Suami ataupun istri haru menegur apabila suami atau istri telah berbuat hal yang buruk atau khilaf dalam meninggalkan kewajibannya, namun tidak dengan berkata kasar. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah At-Tahrim ayat 6:
یٰۤاَیُّهَا الَّذِیْنَ اٰمَنُوْا قُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَ اَهْلِیْكُمْ نَارًا وَّ قُوْدُهَا النَّاسُ وَ الْحِجَارَةُ عَلَیْهَا مَلٰٓىٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا یَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمْ وَ یَفْعَلُوْنَ مَا یُؤْمَرُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
- Saling memberikan cinta dan kasih sayang.
Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas pada kalimat وَ جَعَلَ بَیْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةًؕ dapat juga dimaknai bahwa memberikan cinta serta kasih sayang suami istri itu hal yang wajib, baik dalam perilaku atau perkataan. Membuat rasa senang dan nyaman dalam berumah tangga. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan perhatian dan lain sebagainya yang dapat membuat pasangan merasa senang dan merasah disayang.
Perintah ini bukanlah hanya karena cinta semata, perbuatan inilah yang diperintahkan Allah SWT. Agar suami dan istri selalu merasa dicintai dan dikasih sayangi sebagai bentuk patuhnya kita terhadap Allah SWT. Jika hal tersebut sudah disandarkan terhadap perintah Allah SWT. Maka as-sakinah atau ketentraman dalam berumah tangga akan terjalin dengan mudah.
- Taat kepada suami (pemimpin) dalam hal kebaikan karena Allah
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana yang tersirat dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّ بِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْؕ-فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَیْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُؕ-وَ الّٰتِیْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَ اهْجُرُوْهُنَّ فِی الْمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْهُنَّۚ-فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَیْهِنَّ سَبِیْلًاؕ-اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِیًّا كَبِیْرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud dari اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ adalah kaum laki-laki adalah seorang pemimpin bagi para wanita. Dalam arti bahwa perintah suami patut didengar dan dipatuhi segala perintahnya, istri harus taat terhadap suaminya jika sang suami memberi nasihat atau memerintahkan sesuatu dalam hal kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata قٰنِتٰتٌ adalah seorang istri yang mematuhi perintah suaminya, ialah wanita atau istri yang sholehah. Sang istri taat terhadap suaminya karena ia takut terhadap perintah Allah SWT.
- Tempat tinggal bersama
Tempat tinggal yang sering menjadi permasalahan dalam berumah tangga, karena budaya di Indonesia ini seorang istri sangatlah segan jika harus satu rumah dengan orang tua sang suami atau mertua. Namun bagaimanapun juga sang istri harus tetaplah mengikuti sang suami, ini biasa disebut dengan budaya patriarki. Hal tersebut merupakan perintah yang wajib diikuti oleh seorang istri kemanapun dan dimanapun sang suami tinggal. Seperti dalam firman Allah SWT:
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَیْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ…
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS. Ath Thalaaq: 6).
Namun dalam sudut gender dan feminism, hak dan kewajiban suami istri adalah sama sama mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah. Tentu dalam hal ini, suami istri harus saling berkomunikasi dengan baik, saling menghargai pendapat satu dengan lainnya dalam memilih dan mewujudkan tempat tinggal bersama. Karena bisa saja suami istri ternyata sepakat untuk tinggal dirumah orang tua istri karena orang tua istri hanya tinggal seorang dan sakit sakitan misalnya, oleh sebab itu, demi kebaikan bersama dan mendapat ridho Allah atas ridho orang tua, akan lebih baik tinggal di rumah orang tua istri dikarenakan ada sesuatu hal yang harus diselesaikan. Tentu semua itu bila berjalan dengan baik bila dikomunikasikan denga baik dan saling menghargai satu dengan yang lainnya.
- Saling menjaga diri saat pasangan tidak ada disampingnya
Suamipun harus membatasi teman yang dating ke rumah. Karena tidak semua teman suami harus diterima di rumah, seperti teman lawan jenis. Kecuali jika ada teman lainnya yang sejenis ikut berkunjung. Karena hal tersebut dapat menimbulkan fitnah bagi mereka yang melihatnya dan mereka yang tidak tahu dengan kejadian sesungguhnya. Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34).
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa uraian sebagaimana telah dijelaskan, maka didapati beberapa kesimpulan yang menjadi ringkasan uraian di atas. Hak dan kewajiban suami istri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dalam hal ini masih memiliki poin-poin yang bersifat bias gender. Beberapa konsepsi yang bersifat bias gender dalam formulasi ketentuan hukum tersebut disebabkan oleh dua faktor di mana faktor pertama dilator belakangi oleh sosio kultural dan pendidikan para formatur dalam merancang sebuah ketentuan dan peraturan, karena bagaimana pun dalam hal ini para formatur perancang hukum tersebut didominasi oleh kaum patriarkis dan phallo sentris, kedua bias gender dalam konsep Kompilasi Hukum Islam disebabkan karena tahapan dalam penyusunan Undang-Undang tersebut hanya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam kitab fiqih klasik tanpa bandingkan dengan perubahan-perubahan atau hasil-hasil ijtihad ulama kontemporer (Black, 1976).
Maka asas keadilan gender dalam hal menjalankan rumah tangga dan menjalankan hak serta kewajiban suami dan istri berdasarkan ketentuan yang ada dalam Islam haruslah selaras dan sama tanpa membedakan satu sama lain, tentunya dengan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin karena bagaimana pun konsepsi gender sejatinya tidak mengenal adanya strukturalisasi karena bagaimanapun gender merupakan sebuah karakteristik ataupun sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki sebagai seorang istri dan suami dimana sifat tersebut merupakan sifat alamiah yang dimiliki oleh laki-laki ataupun perempuan.
SARAN
Adapun sarana ingin penulis sajikan dalam kajian ini adalah kepada para formatur hukum hendaknya memformulasikan serta merancang ulang pembaharuan-pembaharuan terkait ketentuan yang berkenaan dengan asas keadilan gender agar dapat diimplementasikan dengan setempat tepatnya.
Kemudian saran ini penulis tujukan agar selayaknya perempuan diposisikan dalam posisi atau status kesetaraan yang adil tanpa memandang jenis kelamin ataupun gender, terutama dalam hal yang berkenaan dengan hukum perkawinan.
Kemudain saran selanjutnya adalah kepada para formatur hukum yang hendak merancang ketentuan baru hendaknya menyelaraskan kebutuhan hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada masanya, ini artinya hukum semestinya berada dalam koridor garis masanya sendiri.